Sunday, November 27, 2016
Sekolah Pagesangan: Sebuah Komunitas Belajar Dusun Wintaos, Desa Girimulya, Panggang, Gunungkidul
Ide dan gagasan awalCerita diawali dari keinginan saya untuk belajar lebih jauh tentang pendidikan yang kontekstual, diilhami oleh konsep pendidikan ala Freiran, dengan pendidikannya yang memerdekakan. Saya memimpikan, ada model pendidikan yang nyambung dengan realitas, dan bisa menjadi ‘solusi’ bagi persoalan yang ada. Khususnya pendidikan yang cocok dan bisa menjadi solusi bagi persoalan yang dihadapi oleh masyarakat di pedesaan dan di daerah terpencil. Pedesaan yang miskin.
Gagasan seideal apapun, akan tetap berupa
gagasan, tidak akan pernah menjadi kenyataan, jika tidak dimulai dengan langkah
nyata. Gagasan dan proses belajar itu mulai diwujudkan setelah saya diminta
oleh beberapa kawan untuk menginisiasi proses belajar bersama anak-anak putus
sekolah di Girimulya, Panggang. Saya menyanggupi ajakan teman tersebut, dengan
catatan segala proses dan kegiatan tersebut menjadi milik bersama para relawan
dan masyarakat, tanpa diformalkan dan tidak menjadi bagian dari projek apapun
serta tetap independent. Semua orang yang terlibat dan tergabung memfasilitasi
kegiatan SSP berstatus Relawan. Di proses awal ada 5-7 relawan yang berhimpun
di SSP. Status relawan yang tidak mengikat, kekuatan bertahan sangat bergantung
dari komintmen yang dimiliki masing-masing individu, hingga mulai tahun ke-3
secara teknis saya bekerja sendiri. Meskipun Relawan Pendiri SSP masih saling
berkomunikasi dan semacam memiliki kekuasaan menentukan kebijakan SSP.
Di awal proses awal pengorganisasian,
selain mulai mengorganisir kelompok belajar, kami melakukan proses identitifikasi
persoalan. Dari identifikasi persoalan,
masalah yang jamak dijumpai di desa-desa di Kecamatan Panggang :
1.
Kemiskinan
2.
Pernikahan dini
3.
Angka putus sekolah relative
tinggi
4.
Urbanisasi tinggi
Dan masalah itu tidak berdiri sendiri, tapi
saling kait mengait. Kemiskinan menyebabkan angka putus sekolah tinggi, juga
mendorong angka pernikahan dini. Orang tua cenderung menikahkan anak-anak
mereka di usia sekitar 15 tahun, terutama anak-anak perempuan, selain karena
budaya, juga untuk meringankan beban perekonomian keluarga. Jika anak-anak
tidak menikah atau bersekolah formal, mereka cenderung untuk pergi bekerja ke
kota, menjadi buruh urban, terutama di kota-kota besar. Jika tidak menjadi
buruh urban sebagian menjadi buruh di perkebunan sawit di Sumatera dan
Kalimantan. Jika tidak sukses mendapat pekerjaan di kota, mereka menjadi kaum
miskin kota. Tidak juga berani pulang ke desa, karena seringkali asset-aset di
desa sudah dijual untuk biaya mereka pergi ke kota atau modal kerja.
2. Desember 2008 s.d Desember 2013 : Sekolah Sumbu Panguripan (SSP)
Proses kegiatan, pengorganisasian, proses
belajar bersama anak-anak dilakukan dalam wadah Sekolah Sumbu Panguripan (SSP).
SSP berjalan mulai Desember 2008 s.d Desember 2013. Bentuk kegiatan belajar yang
dilakukan SSP bersama anak-anak diantaranya :
Penguatan akademis Sekolah
Formal
Imajinasi proses pendidikan selama SSP
masih sangat kental dan dekat dengan Sekolah Formal. Saat menjadi SSP, proses-proses di SSP mendukung
dan mendorong anak-anak untuk tetap Sekolah Formal (SF), dengan pertimbangan,
Sekolah Formal adalah ‘alat’ yang efektif untuk mencegah pernikahan dini,
migrasi dan urbanisasi anak. Pada proses ini ada penguatan SF diwujudkan melalui
:
- Pemberian beasiswa (Gerakan Anak Asuh), agar anak-anak usia dibawah 17 tahun untuk tetap bersekolah formal
- Pemberian dan penguatan pelajaran tambahan (penguatan akademis) seperti matematika, bahasa inggris.
- SSP membuat kurikulum sendiri untuk beberapa tema belajar terkait pelajaran IPS (Ekonomi, sejarah, dan budaya) dan Berhitung/Matematika. Kurikulum versi SSP diharapan menjadi muatan belajar yang lebih kontekstual dengan situasi dan persoalan yang terjadi di desa-desa di Panggang
b.
Belajar Kewirausahaan
Kami percaya, Kewirausahaan menjadi salah
satu cara dan strategi keluar dari kemiskinan. Proses kegiatan belajar diwarnai
dengan meyakini bahwa dengan merintis dan memiliki usaha sendiri menjadi cara
kita keluar dari kemiskinan dan menjadi mandiri. Proses belajar kewirausahaan
dilakukan melalui beberapa tahapan :
- Belajar menumbuhkan jiwa kewirausahaan dan penguatan kapasitas melalui workshop, lomba memasak dan bazaar
- Merintis usaha. Anak-anak remaja merintis usaha secara langsung, diawali dengan usaha ‘Donat’, Pengumpulan Barang Bekas dan Pasar Murah (Bazaar) barang layak pakai
c.
Pengorganisasian dan penguatan
kelompok berdasarkan/sesuai rentang usia
Proses belajar dilakukan dalam kelompok.
Pembagian kelompok didasari dari rentang usia yang sama. Saling belajar dalam
kelompok dan bekerjasama menjadi bagian dari strategi pembelajaran.
3.
Desember 2013, SSP ‘bubar’
Karena ada beberaapa prinsip dan tidak sejalan
dengan relawan yang lain, saya memutuskan untuk mundur dari SSP. Kemunduran
saya menyebabkan SSP bubar, karena saya adalah relawan terakhir yang masih
bertahan memfasilitasi proses di SSP.
Proses kemunduran saya ini sama sekali
bukan proses yang mudah bagi saya. SSP ibarat bayi yang saya lahirkan dan
besarkan hingga berusia 5 tahun, dan harus dipisahkan dari ibunya. Saya
mencintai segala proses juga komunitas anak ini. Saya dan anak-anak sudah
sangat dekat dan saling menyayangi.
Setelah SSP bubar, ternyata komunitas anak-anak
masih solid berkumpul. Anak-anak mencari dan menghubungi saya, dan meminta
melanjutkan proses bersama walau tanpa SSP. Saya menyanggupi permintaan
anak-anak, dengan catatan, harus dengan format dan bentuk yag baru.
Januari – April 2014 :
Refleksi selama menjadi SSP
Bubarnya SSP menjadi titik balik bagi
proses selanjutnya. Mencari bentuk dan wajah baru pendidikan, diawali dengan
proses evaluasi dan refleksi atas segala proses selama menjadi SSP, guna mengidentifikasi
semua pelajaran yang didapat selama menjadi SSP. Refleksi dan evaluasi ini
menjadi bahan menuju bentuk dan model pendidikan yang akan diterapkan di Sekolah Pagesangan. Dari proses refleksi :
-
Semakin disadari pentingnya
model pendidikan yang dekat dengan Realitas. Pendidikan yang berakar budaya
setempat. Kami semakin menyadari selama di SSP belum optimal dalam membangun kedekatan
dengan akar budaya.
-
Mulai mengidentifikasi potensi
desa dan menghubungkannya dengan upaya mengatasi persoalan.
-
Proses belajar kewirausaahaan
bisa menjadi solusi dari permasalahan kemiskinan
-
Muatan Pelajaran Kewirausahaan
lebih diarahkan untuk memperkuat potensi lokal
5.
Hasil Identifikasi Potensi
Desa :
a.
Karakter positif yang relatif
menonjol dari masyarakat desa-desa di Panggang adalah pekerja keras dan daya
juang tinggi. Karakter ini dibuktikan
dengan bertahannya masyarakat ditengah kondisi
alam kering, keterbatasan air dan tanah yang berbatu/karang. Masyarakat mampu
memenuhi kebutuhan pangan dan subsisten dari hasil bertani di lahan kering dan
berbatu tersebut.
b.
Budaya :
-Budaya bertani subsisten,
menanam untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, jika ada kelebihan panen akan
dijual, merupakan budaya yang dikembangkan nenek moyang. Dan budaya ini
ternyata tidak hanya menjamin kesehatan dan kesejahteraan keluarga, tapi juga
mendidik kita berpola hidup lebih bijaksana dan tidak menjadi manusia rakus.
Budaya ini juga lebih ramah pada alam
dan lebih sedikit menimbulkan kerusakan pada alam. Budaya bertani subsisten ini
sebagai bentuk kemandirian pangan masyarakat.
-Masyarakat juga masih
kuat memegang semangat komunal dan gotong royong.
c.
Kearifan dan Pengetahuan Lokal tentang keragaman dan diversifikasi pangan
juga tentang kemandirian pangan dan bertani untuk subsisten
6.
Sekolah Pagesangan : Mei 2014 - Hingga kini
Membangun proses pendidikan yang
kontekstual dengan situasi budaya setempat. Bertani merupakan bagian yang
mengakar kuat dari kebudayaan di Girimulya, Panggang
·
Sebagai ‘Model Pendidikan’ yang
sedang berupaya menjadi kontekstual dengan realitas, Sekolah Pagesangan memilih
tema belajar bertani sebagai mauatan proses belajar
·
Model pertanian yang dipilih SP
adalah Pertanian Alami (Pertanian Organik), karena pertanian alami/organic :
- Bertani alami merupakan budaya dan pengetahuan lokal yang diwariskan oleh nenek moyang. Jika memilih bertani alami, akan menjadi proses mengingat kembali budaya yang pernah sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Ilmu dan teknologi yang dikembangkan dalam pertanian organic (seharusnya) juga sangat adaptif dan mudah diserap oleh budaya kita.
- Proses bertani organic/alami, mengutamakan kemandirian dan keberdayaan dari petani dan melepaskan ketergantungan dari industry besar. Keberdayaaan ini menjadi bagian dan upaya perlawanan terhadap kemiskinan. Melalui pertanian organic bisa menjadi media dan proses pembelajaran menuju keberdayaan
- Proses bertani alami merupakan bagian dari proses merawat alam. Jika lingkungan dan alam terjaga, tidak rusak, alam akan membeerikan kehidupan bagi manusia
·
Belajar ilmu, pengetahuan dan
teknologi sederhana untuk mensiasati kondisi alam dengan model pertanian alami
·
Pengolahan hasil panen.
Memberikan nilai tambah hasil panen dengan melakukan pengolahan pangan.
Memberikan nilai tambah ini akan meningkatkan kesejahteraan petani
7.
Proses Belajar di Sekolah
Pagesangan
·
Melalui penguatan kelompok
Saat ini di SP ada 4
kelompok besar :
a. Kelompok Kader
Kelompok Kader terdiri
dari para remaja, yang telah mengikuti proses sejak SSP dan SP diinisiasi,
mereka menjadi kader penggerak perubahan desa. Kelompok kader ini, selain
belajar untuk mempersiapkan masa depan mereka, juga aktif mengawal dan
mengkoordinir kegiatan di desa seperti
pada kegiatan belajar budidaya pertanian organic ; pengolahan paska panen dan
proses pemasaran dan rintisan simpul produsen dan konsumen
b.Kelompok Ibu-ibu
kelompok ibu-ibu
diinisiasi dari Porses Belajar Pengolahan Hasil Panen. Dari proses pengolahan
hasil panen dibentuklah kelompok ibu-ibu. Kelompok ini berfokus belajar pada
pengolahan hasil panen dan budidaya pertanian alami
c.Kelompok Anak-anak
Kelompok
anak-anak usia 6-13tahun diorganisir untuk menjalani proses belajar :
-mengenali desa
dan mengenalkan budaya bertani
-kegiatan lain
yang dilakukan anak-anak : belajar pembibitan dan menanam, dilibatkan di
kegiatan kebun, outbond, lomba, memasak bersama, perpustakaan dll
d.Kelompok Bapak-bapak,
kelompok
bapak-bapak diorganisir melalui proses belajar budidaya pertanian organic/alami
8.
Pilihan Strategy dan Model
Pengorganisasian
·
SP memilih menjadi organisasi
non formal, bukan lembaga formal, bukan yayasan, bukan LSM, bukan pesantren,
bukan pula bagian pemerintah desa ataupun project pemerintah, bukan project
agama dan juga bukan sekolah formal
·
SP melebur dalam dinamika dan
gerakan di masyarakat. Keberadaan SP karena dibutuhkan dan dipelihara oleh
masyarakat sendiri.
·
Konsekwensi dari pilihan ini :
- Segala sumberdaya yang diperlukan untuk penyelenggaraan proses-proses pembelajaran harus ditanggung sendiri, dan harus siap tanpa dukungan dari pihak luar manapun.
- Disadari dan harus siap dari awal jika selama proses akan berjalan dan berjuang sendiri, dan siap jika tidak akan banyak dukungan dari luar
- Jika dirasa jaringan itu penting, maka harus mampu membangun jaringan sendiri
- Harus siap jika gagasan yang dirintis dan diperjuangkan tidak banyak diminati, bahkan mungkin tidak dianggap dan diperhitungkan, (entah sampai kapan)
·
Lesson learn dari pilihan ini :
-
Mengoptimalkan modal social
(social capital)
-
Budaya gotong royong kuat
terasah
-
Mampu Mandiri
-
Tidak banyak yang intervensi
pihak luar
-
Kebutuhan dan capaian bebas ditentukan
oleh masyarakat dan peserta belajar
-
Cara yang efektif untuk belajar
berdaya
-
Tidak ada tuntutan diluar
kemauan dan kemampuan kita
-
Mendapat dukungan dari
teman-teman yang tulus
9.
Sumber Daya Pendukung
Pembelajaran
Bagi saya, setiap orang
punya potensi untuk melampaui semua kesulitan yang dihadapi dalam hidup. Setiap
kesulitan pasti ada jalan keluar. Jika kita mau memberdayakan diri sendiri,
akan muncul ketahanan dan upaya mengatasi kesulitan. Begitu pula dalam
masyarakat atau komunitas. Saya percaya ditengah gempuran beragam persoalan,
masyarakat punya daya tahan dan kemandirian. Kemandirian dan daya juang ini
seharusnya yang dipeliahara dan diperkuat.
Untuk konteks Panggang,
daya tahan dan daya juang sudah teruji dan terbukti dengan mereka memilih
bertahan dan hidup di alam yang kering dan berbatu. Masyarakat panggang
terbiasa menghadapi tantangan alam yang keras. Ketahanan dan daya juang ini
adalah potensi dan kekayaan masyarakat Panggang.
Menjadi komunitas belajar
yang menyatu dengan segenap dinamika yang ada di masyarakat, kami ingin belajar
mengoptimalkan sumberdaya dan kapasitas untuk mendukung proses keberdayaan itu.
Ada banyak ‘kekayaan’ yang kita miliki, yang seringkali tidak tampak.
Seringkali kita memakai Parameter, sudut pandang dan kacamata berbeda untuk
memaknai kekayaan. Daya tahan, daya juang, gotongroyong, semangat komunal,
adalah kekayaan dan modal social yang dimiliki masyarakat. Kami belajar
mengoptimalkan dan memanfaatkan apa yang kami miliki untuk belajar berdaya.
·
Modal social (social capital)
yang dimiliki dan ada di masyarakat
Ketika kelompok anak-anak
ingin belajar bertani dan ingin memulai membuat kebun-kebun belajar, setelah
para orangtua berembug, kel. Orangtua
bersepakat meminjamkan lahan-lahan mereka untuk proses belajar ini. Semua
kebun-kebun rintisan SP adalah pinjaman
lahan dari orangtua baik itu kebun depan halaman rumah marsini, kebun nDelisen,
dan kebun Kepuket.
Dalam proses bertani kami
juga belajar, mengingat kembali (revitalisasi) kekayaan budaya dan pengetahual
lokal tentang pertanian yang diwariskan oleh nenekmoyang yang kini mulai punah,
misalnya ilmu tentang pronoto mongso, keragaman benih, keragaman genetic
tanaman dll
·
Prinsip gotong royong, “sopo
duwe opo, sopo nyumbang opo”
Dalam proses-proses
pembelajaran, segala kebutuhan dan sumberdaya yang dibutuhkan, didapat dari
proses gotong royong. “Siapa punya apa, siapa menyumbang apa” menjadi hal yang
biasa/kebiasaan disetiap kegiatan. Misalnya saat kegiatan belajar, membuat pupuk,
pengolahan pangan hasil panen, bazaar, dll semua partisipan berkontribusi pada
penyiapan bahan dan alat yang dibutuhkan bersama.
·
Mengoptimalkan kreatifitas dan
potensi
Saat kami membutuhkan dana
atau sumberdaya untuk kegiatan terntu, yang kami lakukan, kami mengerahkan
usaha yang bisa kami lakukan terlebih dahulu. Contoh kejadian tahun 2011 lalu, saat
kami mengagendakan belajar dan rekreasi ke jogja, kami membutuhkan dana untuk
transportasi yang tak sedikit. Untuk Fundrising, kami memutuskan untuk membuat
serial bazaar baju layak pakai bekas di Wintaos Girimulya. Baju didapat dari sumbangan
dan donasi dari teman-teman di jogja. Setelah terkumpul hampir 1 truk baju,
kami membuat rangkaian bazaar. Dan hasilnya, dana untuk kegiatan tersebut bisa
ditutup dari hasil bazaar tersebut
- Kebun halaman depan rumah marsini
- Kebun nDelisen
- Kebun Kepuket
- Kebun Ketos
-
Green teen preneur
Program mengisi liburan
dengan menginigisasi usaha : memproduksi dan menjual makanan siap santap olahan
dari kebun. Program Greenteen 1 (desember 2014) diikuti 9 anak dan berlangsung
5 hari, dan total omset yang dihasilkan sebesar 900rb an. semua uang yang diperoleh
dibagi rata kesemua anak. Greenteen 2 diikuti (desember 2015) 7 anak dan
berlangsung 7 hari, total omset lebih dari 2 juta rupiah, dan semua uang yang
didapat juga dibagi rata untuk semua anak
- Jualan Door to door
- Berjualan nasi tiwul, tiwul ayu dan jajanan dari bahan singkong
- Jualan di POJOG (Pasar Organik Jogja)
- Jualan di Kamisan
- Berjualan makanan matang, buah-buahan, hasil bumi (palawija
-
Hingga Tulisan ini ditulis Produk-produk
yang dihasilkan dari kelompok-kelompok SP : Tiwul Instan, Tepung Gaplek,
Criping Singkong, Criping Talas
(kimpul), Criping Balado Singkong, Pathilo, tepung Mocaf, Mengleng, Emping
Garut, Jali-Jali, Beras Merah (Var. Segreng), Kerupuk Singkong, Tempe Koro,
Tempe Benguk, Tempe Cipir. Produk-produk terus
dikembangkan dan dari waktu ke waktu terus bertambah guna memberikan nilai
tambah hasil panen.
Friday, September 16, 2016
Merdeka atas Pupuk
Workshop merdeka atas Pupuk ini diselenggarakan sebagai upaya melepaskan
ketergantungan kami kepada Produsen/Perusahaan Pupuk, terutama Pupuk Kimia. Pupuk
Kimia telah membuat tanah kami keras, sekarat dan mati. saatnya untuk kembali
bertani seperti yang diajarkan simbah, buyut kita, bertani alami, mengambil
dari alam dan mengembalikan ke alam supaya daur dan siklus alam bisa
berlangsung sebagaimana mestinya.
Membuat pupuk sendiri
sangatlah mudah, dan nyaris tidak mengeluarkan biaya apapun. Semua orang,
bahkan anak-anak pun bisa mencobanya secara mandiri. Workshop ini
diselenggarakan secara sederhana, di kandang Pak Pardi, RT 05 Ketos, Girimulya.
Semua bahan diperoleh dari sekitar, tidak perlu modal banyak. Acara Belajar
juga dilangsungkan secara swadaya, ada yang iuran kotoran sapi, kotoran ternak,
daun-daun sumber Nitrogen, Phospat dan Kalium. Ada juga yang iuran teh, ubi
rebus dan singkong goreng, yang kami lahap secara nikmat di samping kandang :D
Pertemuan kali ini, kami belajar menumbuhkan starter bakteri pengurai yang diambil
dari rumen kambing. Bakteri dan aktinomicetes ini yang akan kita pakai untuk
pengurai/untuk memfermentasi pupuk yang akan kita buat. Dilanjut dengan membuat
pupuk padat Bokashi, Pupuk Cair Nitrogen dan Pupuk Kalium/phospat
Workshop berlangsung secara damai, lancar, yang diikuti oleh kelompook
bapak, ibu-ibu dan remaja. Semua senang dan langsung menindaklanjuti hasil
workshop dengan membuat pupuk di rumah masing-masing
Sampai Jumpa Lagi di edisi belajar lagi yang lain :D
lemahe mboten atos kados sakniki: Mengingat apa yang telah lalu
Pertemuan Kelompok Bapak-Bapak |
Hari
ini (10 September 2016), malam ini sengaja kami mengadakan pertemuan dan diskusi kelompok bapak-bapak.
Kelompok bapak-bapak adalah salah satu kelompok belajar di Sekolah Pagesangan.
Kelompok bapak-bapak ini memang yang paling terakhir diorganisir, setelah
kelompok Anak dan remaja, dan kelompok Ibu-ibu. Sehingga ada 3 kelompok besar
di komunitas Sekolah Pagesangan yang mulai berjalan proses belajarnya: kelompok
Anak dan Remaja, Kelompok Ibu-ibu dan Kelompok Bapak-bapak. Jika kelompok
Ibu-ibu diorganisir melalui pengolahan pasca panen, kelompok bapak-bapak diorganisir
melalui belajar bersama tentang budi daya. Tentunya budidaya pertanian secara
organik dan alami.
Pertemuan
malam ini sudah disepakati sejak beberapa hari sebelumnya. Pertemuan dihadiri
oleh 19 orang bapak-bapak. Meskipun pertemuan bapak-bapak, ada beberapa ibu-ibu
yang turut hadir, para kader SP; Murni, Hesti, Livia pun turut mengikuti
pertemuan. Pertemuan, dimulai sejak jam 20.00 WIB. Diskusi berlangsung hangat
dan hampir semua orang yang datang mau berbicara, tak terasa diskusi kami
akhiri jelang tengah malam, sekitar pukul 23 malam.
Pertemuan
kali ini sengaja diagendakan untuk mengingat kembali atas proses dan situasi
bertani di masa lampau. Saya, dan Mas Kuncoro mengajak bapak-bapak kembali dan
mengingat 30 tahun yang lalu.
Kami mengawali dengan bertanya pada bapak-bapak,
kira-kira tahun 60-an (era sebelum 1970) benih apa saja yang biasa ditanam saat
itu?
Sesaat
semua orang diam, mencoba mengingat-ingat, tapi lambat laun satu persatu
bicara, saut menyaut dan saling menimpali, “Riyin
niku, yen pari nandur pari lokal: menuran, cempo…” (dulu itu, kalau padi
nanam padi lokal: menuran, cempo.”). Yang lain menambah “pari puthu”, ada yang menimpali “Genjah, Pakisan” “Pokoke macem-maceme pari taksih kathah”
(pokoknya macam-macamnya padi masih banyak-jw). “Pari niku taksih wonten ditandur sekitaran tahun 70an, sak derenge tahun 1985 bu. Kulo inget niku
sakderenge lahire anak kulo, Anjar..” kata Pak Pur (padi itu masih ada
ditanam sekitar tahun 70an, sebelum tahun 1985 bu. Saya masih ingat itu sebelum
lahirnya anak saya, anjar..” kata Pak Pur) “Selain
pari ageng (lokal), tahun-tahun niku ugi nandur jagung, canthel (sorghum),
jali, jewawut , uwi, umbi-umbian..pokoke macem-macem ditandur”, kata Pak Giyanto
(Selain pari ageng (padi lokal), tahun-tahun itu juga menanam jagung, canthel,
jali, jewawut, umbi-umbian, …pokoke macem-macem ditanam, kata Pak Giyanto). Ada
pula yang menyahut, “Jagunge niku jagung
putih. Riyin ugi nedhi jagung putih” . (jagungnya itu jagung putih, dulu
juga makan jagung putih)
Saya bertanya, apakah benih-benih lokal
padi itu masih ada?
Mereka
menjawab benih-benih padi lokal sudah tidak mereka miliki lagi, dan jika mau
mencari sudah tidak tahu kemana. Karena benih-benih itu sudah lama tidak
ditanam. Mereka juga bercerita, kurang lebih tahun 1985-an, varietas Segreng
masuk ke desa, beberapa orang mulai menanamnya karena umurnya lebih pendek,
sekitar 4 bulan. Saat itu padi lokal yang panennya lama (7 bulan) banyak yang
terkena serangan hama, sehingga banyak petani beralih ke varietas segreng.
Mas Kuncoro dan saya selanjutnya
bertanya tentang, kira-kira kapan urea, pupuk kimia dan pestisida masuk ke desa
?
Kembali
semua orang mengingat-ingat. Tak lama, ada yang nyeletuk, “Kadose niku urea dereng dangu, sekitaran 1985an niku…”
(sepertinya, itu belum lama, sekitar tahun 1985-an itu), kata Pak Pardi. Pak Nyoto,
“ jane urea niku pun dangu mlebet ndeso,
tapi riyin ngendikane simbah kulo, mboten angsal ndamel niku (urea), marakke
lemahe atos, ngoten ngendikane simbah”, (sebenarnya urea itu sudah lama
masuk desa, tapi dulu, kata simbah saya, tidak boleh Pakai itu (urea), menyebabkan
tanah menjadi keras). Pak Pardi, “Ngendikane
simbah, yen ndamel urea niku marakke telo dadi pait, dados sami mboten wantun
ndamel urea” (kata simbah, kalau Pakai urea menyebabkan telo menjadi pahit,
jadi banyak yang gak berani Pakai urea”. Pak Sasmita, “ nggih , niku jane pun
masuk tahun 70an tapi, tiyang-tiyang mriki milai ngangge tahun 80-an..(iya, itu
sebenarnya sudah masuk tahun 1970an. tapi orang-orang sini mulai menggunakan
tahun 1980-an). Pak gun: “Yen tiyang
mriki to riyin niku pupuke nggih mung pupuk kandang…, wantun ndamel pupuk urea
niku nggih nembe mawon, kirang langkung sareng pari segreng”. (kalau orang
sini, dulu itu pupuknya ya hanya pupuk kandang, berani Pakai pupuk urea itu
baru saja, kuranglebih bersamaan dengan padi segreng). Pak Dukuh dan Pak Pur
menambahkan: “Yen pestisida jarang bu
mriki ndamel” (kalau pestisida jarang diPakai di sini). Pak Sasmita, “Tapi kulo ndamel roundup lho…, nggih kirang
langkung sejak tahun 2006 setelah gempa niku” (tapi saya Pakai roundup
lho…ya kira-kira sejak tahun 2006 setelah gempa itu).
Wonten bedane mboten Pak kondisi tanah
rumiyin sakderenge tahun 70-an dibanding sakmeniko?(Apa
ada bedanya Pak, kondisi tanah dulu sebelum tahun 70an dibanding sekarang?)
Pak
Pardi spontan menjawab “Jane kethok
banget bedane riyin dibanding sakniki …riyin niku tanahe mboten atos kados
sakniki..” (Sebenarnya kelihatan banget bedanya dulu dibanding sekarang,
dulu itu tanahnya tidak keras seperti sekarang). “Nggih leres, sakniki tanah niku atos, nopo niku wonten hubungane kalih
urea niku nggih?” (ya benar, sekarang tanah menjadi keras, apa itu ada
hubungannya dengan urea itu ya?) Tanya Pak Sasmita.
Mas
Kuncoro dan saya menanggapi , tanah itu adalah benda ‘hidup’. Hidup maksudnya,
ada beragam jenis dan jumlahnya jutaan mahluk hidup dalam tanah, mulai mikroba
seperti bakteri, jamur, hewan-hewan kecil seperti serangga maupun cacing, baik
yang tamPak mata maupun yang tidak kasatmata. Mikroba dan hewan-hewan kecil ini
berperan untuk memberi kehidupan di tanah. Memungkinkan untuk terjadinya
penguraian makhluk hidup lain, dan sisa kehidupan lain. Penguraian inilah yang
membuat terjadinya daur hara juga membawa kesuburan tanah. Semakin kaya dan
banyaknya mikroba dan organisme di dalam tanah, semakin sehat dan subur tanah
itu. Sayangnya, penggunaan zat kimia, seperti pupuk dan pestisida kimia bisa
membunuh semua mikroba dan makhluk/hewan kecil yang ada di tanah. Akibatnya di
tanah tidak ada penguraian dan kehidupan. Tanah menjadi sekarat dan mati. Di
dalam tanah yang mati tidak terjadi penguraian makhluk hidup dan tak ada daur
hara. Tanah menjadi keras dan atos
adalah salah satu ciri tanah yang sekarat dan mati. Jika dalam tanah itu tidak ada
kehidupan, kita tidak mungkin berharap tanah bisa subur dan memberi
kesejahteraan bagi kita.
Pada
pertemuan ini, hadir juga Nathan Spoot
Nik, seorang
traveler kewarganegaraan Prancis. Ia tinggal 3 minggu di Jogja dan Panggang
untuk belajar bertani alami yang mandiri. Saat tinggal di Wintaos, Panggang,
Nathan bersama kami di SP, terlibat dalam semua kegiatan kebun seperti
mencangkul, menanam, memupuk, membersihkan rumput juga membuat kompos. Kali ini
saya meminta Nathan untuk bercerita kepada kami semua tentang kondisi pertanian
di Perancis dan Eropa secara umum, juga alasan dia mau belajar tentang
pertanian alam dan tradisional.
Cerita
Nathan dimulai dari Perang Dunia 1 dan 2 (1940-1945), saat itu ternyata serdadu/prajurit Prancis yang dikirim
berperang 90% adalah Petani. Perang banyak membunuh serdadu-serdadu itu.
Setelah perang Prancis banyak kehilangan petani saat itu. Petani yang biasanya
bekerja menjadi penyedia pangan sebagian besar mati di medan perang. Setelah
perang usai, baru dirasakan menipisnya jumlah petani. Di lain pihak, usai
perang, industri besar yang biasanya memasok senjata, gas kimia pembunuh massal,
amunisi, tank, menjadi terancam kelangsungan ‘produksinya. Artinya pemilik
modal dan industri tidak mendapat uang jika perang telah usai. Mereka berpikir,
apa yang bisa dilakukan untuk mendapatkan uang dari kelangsungan industri?
Mereka mulai melirik pada masalah pangan. Karena banyak kehilangan petani saat
perang, maka pekerja pertanian jauh menyusut. Sementara lahan-lahan luas
pertanian butuh banyak pekerja dan petani. Rakyat juga butuh pangan. Lalu apa
yang bisa dilakukan industri (ex industri perang) untuk masalah ini ? Apakah
ada keuntungan bagi industri yang bisa diambil dari situasi ini?
Singkat
cerita, eks industri perang ingin terlibat dalam ‘mendukung’ pertanian.
Akhirnya diciptakanlah model pertanian yang syarat dengan alat, mekanisasi dan
kimiawi/sintetis (intensifikasi). Dengan pertimbangan, melakukan mekanisasi pertanian,
dan penggunaan pupuk/pestisida kimia akan sangat menghemat tenaga kerja/petani.
Umumnya luas lahan yang biasanya dikerjakan 20 orang tenaga/petani bisa dihemat
menjadi 2 orang petani. Akhirnya industri perang yang biasanya ‘melayani’
kebutuhan perang, beralih ‘melayani’ kebutuhan pertanian. Dibuatlah pestisida
untuk membunuh (tumbuhan dan hewan) yang tidak diinginkan (dianggap sebagai
pengganggu): aneka insektisida dan herbisida, pupuk juga dibuat pupuk kimia.
Dulu mereka memproduksi tank-tank untuk perang, kini beralih membuat traktor
dan mesin-mesin lain.
Termasuk
pada benih, industri juga memproduksi aneka benih yang telah dimodifikasi
sesuai keinginan dan kebutuhan kita. Pasar dari industri pertanian ini tidak
hanya di Eropa dan Amerika, tapi meluas ke Asia dan Afrika, bahkan justru
dipasarkan ke negara-negara miskin. Kapital / industri mendekati pemerintah,
meminta para pemimpin negara untuk membeli produk yang ‘menjanjikan ini’.
Selanjutnya untuk memudahkan akses pada petani, Industri bekerja sama dengan
bank. Bank memberikan pinjaman kepada para petani untuk belanja modal usaha
mereka.
Setiap
mau bertani, para petani belanja, benih, pupuk, pestisida juga mesin. Petani
diberikan kredit, dan harus mengangsur ke Bank setiap bulan. Sementara di pihak
lain pemilik industri dan kapital besar menjadi semakin kaya dan mendapat
banyak uang dari proses ini. Setelah beberapa lama berjalan, ternyata petani
bukannya bertambah kaya, mereka tambah miskin karena belanja modal bertani dari
hutang, mereka harus mengembalikan uang dan bunganya yang tidak sedikit. Karena
jeratan hutang, banyak petani yang harus kehilangan tanah dan lahannya disita
bank. Kita bisa bayangkan apa jadinya petani tanpa lahan/tanah. Kondisi ini
membuat banyak petani yang mengalami stres, bahkan bunuh diri, di India ada
200.000 petani melakukan bunuh diri dalam 10 tahun. Di banyak Negara, banyak
petani yang tanahnya tergadai, pergi meninggalkan desa, menuju kota. Di kota
tak mudah mereka mendapat pekerjaan, akhirnya mereka menjadi bagian masalah
urban. Intensifikasi pertanian juga menimbulkan sangat membuat kita bergantung
pada Bahan Bakar Minyak (BBM).
Dampak
dari model bertani yang intensif ini kembali kepada manusia. Tanaman yang
diproduksi dan dipelihara secara kimia, selain membunuh tanah, juga meracuni
manusia yang memakannya. Timbul beragam penyakit akibat konsumsi makanan
berpestisida dan pupuk kimia, banyak yang sakit kanker, tumor, kerusakan
ginjal, jantung dll. Tanah yang dulunya secara fisik empuk dan gembur kini
menjadi keras dan rusak/mati.
Nathan
menambahkan, Kini kami (di Eropa) justru banyak merasakan kerugian dari dampak bertani
yang katanya ‘modern’ ini. Kami berpikir dan mulai ingin kembali ke model
pertanian jaman dulu yang lebih alami dan tidak merusak. Meskipun belum banyak
tapi mulai ada beberapa orang yang merintis pertanian model alami ini. Di Prancis,
khususnya di Paris dan di kota-kota besar lain, (hampir semua) sebagian besar
bahan pangan dipasok (diimpor) dari Spanyol dan Maroko. Karena lebih murah
dibanding produksi sendiri. Karena impor, kami sangat bergantung pada transportasi.
Transportasi bergantung pada BBM. Jika suatu saat BBM telat dan langka tentu
akan jadi masalah besar bagi orang-orang kota itu. orang-orang bisa kelaparan.
Kami menjadi sangat bergantung pada industri minyak. Kini saya (Nathan)
jauh-jauh ingin belajar untuk kembali bertani secara alami yang sehat dan adil
bagi saya, tanah, alam dan masyarakat dunia.
Testimoni
tersebut juga menggugah kami, ternyata intensifikasi pertanian yang diterapkan
selama ini adalah bentuk kesalahan yang diamini banyak orang. Ada banyak
ketidakadilan di dalamnya. Ketidakadilan bagi petani sendiri, karena telah
dihisap oleh kapital besar, ketidakadilan bagi tanah dan alam, karena telah
mengalami penyiksaan secara terus-menerus, hingga kini sekarat dan mati.
Ketidakadilan itu juga kembali kepada manusia selaku konsumen yang mengonsumsi
hasil pangan yang tidak sehat ini. Banyak penyakit dan penderitaan yang
dihasilkan.
Cerita
Nathan, menjadi refleksi bersama di pertemuan ini. Karena kerusakan akibat
model pertanian intensiv ini juga dirasakan langsung oleh kita semua di sini.
Di desa, kita banyak menemukan orang yang sakit kanker, ginjal dll. Tanah-tanah
kita juga bertambah keras, tidak sama seperti dulu waktu bapak-bapak dan
ibu-ibu masih kecil/muda. Saat itu tanah lebih gembur. Kita juga harus selalu
belanja pupuk urea, bibit dll. Padahal jika kita mau kita bisa buat sendiri.
Nah, apakah kesalahan ini mau kita
teruskan?
Pak
Pardi menyahut: “saya merasakan sekali
perubahan di lahan saya, tanah-tanah jadi atos dan keras, sebenarnya saya ingin
berubah, saya ingin kembali ke system yang alami yang dipakai bapak saya, tapi
kekawatiran saya jika saya kembali ke system dan cara yang alami, apakah
produksi dan hasilnya bisa tetap bagus? Kami sekeluarga harus tetap makan dan
anak-anak butuh sekolah. Itu yang jadi kekawatiran kami”. Semua orang
Saling sahut menyahut dan ingin bicara. Pak Giyanto: “Ya..karena itu alasannya,
saya juga ingin berubah, tidak Pakai urea, tapi agak berat karena kami takut
peralihan ini tidak bagus hasilnya, bagaimana pangan keluarga kami nanti?” Pak
Dukuh: “Kalau saya sudah mulai mengurangi sedikit demi sedikit, jadi misal,
saya punya lahan 4 petak, saya mulai tidak menggunakan urea sama sekali di satu
lahan saya, kemudian tahun depan di lahan berikutnya”. Pak Nyoto : “Saya juga
sependapat dengan Pak Pardi, tapi saya mau berubah, saya mau berubah tapi
bertahap, sedikit demi sedikit mengurangi urea dan pestisida”.
Mas
Kuncoro: “Ya biasanya memang masa peralihan produksi bisa berkurang, tapi tetap
ada hasil. Kita sudah membuktikannya dengan lahan yang dikelola oleh kelompok
anak-anak. Mereka menanam padi, sorgum, dan umbi-umbian. Tidak ada sama sekali
menggunakan pupuk kimia, apalagi pestisida, tapi hasil panen kemarin tetap
bagus. Bapak-bapak sudah lihatkan lahan kebun yang di Kepuket? Jadi tetap ada
hasil jika kita mau belajar, tertib dan menjadwal perlakuan dan dukungan yang
harus kita berikan pada tanah. Bahkan hasil bisa lebih bagus dari pola intensif
jika kita mau tertib memberikan dukungan dan menyehatkan tanahnya dulu.”
Pak
Dukuh: “Iya betul, saya tetap yakin cara alami itu lebih cocok dan menghasilkan
bagi kita, contohnya kita juga bisa lihat ke lahannya Mbah Suparjono dari
Legundi, yang bertani organik dan tidak pakai pupuk urea sama sekali, tapi
hasilnya juga bagus”.
Mas
Kuncoro: “Oke... jadi bagaimana, apakah kita mau belajar untuk berubah? Jika bapak-bapak
ingin belajar lebih jauh bertani secara alami saya mau menemani. Nanti kita
bisa belajar membuat pupuk sendiri yang tidak harus beli, kita juga bisa
mengatur pola tanam dan lain-lain. Jika bapak-bapak bersedia kita bisa belajar
bersama dan memulainya, mumpung kita masih punya waktu beberapa bulan sebelum
musim tanam Oktober / November tahun ini”.
Pak
Pardi dan lain-lain: “Monggo saya langusng usul, saya mau belajar terus, kapan
waktunya kita mulai belajar?” Akhirnya, setelah dirembug, disepakatilah waktu
belajar, mulai belajar membuat pupuk organic mandiri, hari sabtu, 10 september
2016.
Bagi
saya pribadi Perjalanan memang masih panjang dan berliku, tapi tiap tahapan
dari proses, saya pribadi belajar banyak, dan saya menikmatinya, pun merasa
bahagia menjalaninya.